Tips Cara Pancarkan Aura Kecantikan Anda

Gus Dimas
Pernahkah anda melihat seseorang yang memiliki wajah cantik tapi menurut anda justru tidak menarik atau biasa saja. Atau mungkin anda juga pernah melihat seorang yang tingkat kecantikannya sedang, tapi justru lebih menyejukkan hati ketika dipandang. Bahkan semakin lama dipandang akan semakin menarik.  Inilah yang disebut aura kecantikan setiap wanita yang tidak melulu ditentukan oleh penampilan secara fisiknya saja.

Memancarkan aura kecantikan itu sendiri diawali dari setiap pribadi masing-masing. Banyak faktor yang bisa membuat aura kecantikan setiap wanita terpancarkan. Beberapa diantaranya adalah kecerdasan, kepribadian, percaya diri, dan juga ketulusan hati.
Wanita yang cerdas dan mampu berkomunikasi dengan baik akan mempunyai nilai plus tersendiri bagi orang-orang disekitarnya. Ketika si cerdas aktif dalam menyampaikan ide dalam suatu forum, otomastis dia akan menjadi pusat perhatian karena dia merupakan salah satu anggota yang mampu menonjolkan dirinya melalui ide dan aktif dalam berkomunikasi. Didukung dengan ilmu pengetahuan yang dia miliki, tentunya akan memberikan dampak positif pula .

Faktor lain yang bisa menghidupkan dan memancarkan aura kecantikan wanita adalah faktor kepribadian. Aura sangat erat kaitannya dengan inner beauty. Inner beauty itu sendiri akan terbangun karena kepribadian yang baik dari setiap wanita. Sikap yang ramah, tutur kata yang baik serta kegiatan positif yang dilakukan akan sangat menentukan munculnya inner beauty yang baik dari masing-masing wanita. Disebut dengan kecantikan dari dalam karena bentuk kepribadian merupakan kecantikan yang muncul dari dalam diri setiap wanita.

Rasa percaya diri yang bagus juga merupakan penunjang seseorang untuk menunjukkan aura yang positif. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri akan cenderung mampu menciptakan suatu prestasi. Hingga akhirnya berdampak pada aura kecantikannya. Bagaimana tidak, jika seorang wanita selalu percaya diri dia akan mudah bergaul dengan siapapun hingga akhirnya dia terbiasa dan selalu termotivasi untuki menciptakan setiap prestasi.

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam menunjukkan aura kecantikan wanita adalah sikap yang tulus. Tulus artinya tidak mengharapkan imbalan ketika melakukan sesuatu. Sehingga apa yang dia lakukan selalu didasari dengan unsur rela dan apa adanya. Wanita yang memiliki kepribadian seperti ini akan cenderung banyak disukai oleh orang lain. Tanamkanlah beberapa faktor tersebut dalam kepribadian anda sebagai cara memancarkan aura kecantikan.
(sahabat-wanita.com)


Valentin's Day...??? Haram...!!!

Dimas Cokro Pamungkas
Fenomena perayaan Valentine's Day tidaklah terlalu asing di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya. Para remaja, walau baru kelas satu SMP, sudah mengenal budaya setan ini. Mereka biasa merayakannya dengan mengadakan lomba saling merayu antara lawan jenis, saling memberikan bunga dan hadiah kepada pacarnya, mengadakan pesta musik yang terkadang disertai minuman keras tanpa mempedulikan terjadinya percampuran pria dan wanita non-mahram. Bahkan, acara ini oleh mereka dijadikan ajang untuk mengekspresikan hawa nafsu kepada lawan jenis, misalnya mencium pipi, memegang tangan, sampai melakukan perbuatan yang kelewat batas, naudzu billahi min dzalik. Lucunya, perayaan ini pun rupanya tidak hanya dilakukan oleh anak muda. Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan tante-tante pun tidak ketinggalan 'bertaklid' merayakan budaya sesat ini.
Lebih memprihatinkan lagi, budaya ini telah menjarah remaja Islam, remaja yang diwanti-wanti oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam untuk selalu mengikat perilakunya dengan ajaran Islam dan tidak membebek kepada cara hidup orang kafir, malah larut dalam perayaan jahiliah ini dengan meninggalkan akidah Islam.
Budaya perayaan Valentine's Day telah menjarah remaja Islam, membebek kepada cara hidup orang kafir dalam perayaan jahiliah ini dengan meninggalkan akidah Islam.
Mereka yang melakukan perayaan ini berdalih dengan kasih sayang. Padahal, pesta semalam suntuk dalam rangka ber-Valentine's Day diikuti dengan perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan moral dan agama (khususnya agama Islam) tidak akan melahirkan kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang dilahirkannya hanyalah kasih sayang semu dan palsu. Bukan kasih sayang, mungkin lebih tepat disebut hawa nafsu.
Ber-Valentine's Day tidak akan melahirkan kasih sayang yang sejati, bukan kasih sayang, mungkin lebih tepat disebut hawa nafsu.
Sejarah Singkat Valentine's Day
 
Valentin, atau Valentinus yang di Indonesia beberapa waktu terakhir ini mulai dipopulerkan secara luas dengan istilah Valentin (tanpa e atau huruf s) sebetulnya nama seorang martir (orang Kristen yang terbunuh karena mempertahankan ajaran agama yang dianutnya). Valentin yang sebenarnya adalah nama seorang tokoh agama Kristen yang karena kesalehan dan kedermawanannya diberi gelar Saint atau Santo disingkat dengan St., yang mempunyai tempat istimewa di dalam ajaran agama ini. Panggilan atau gelar ini dilekatkan pula kepada tokoh Kristen yang lainnya, seperti St. Paul, St. Peter, St. Agustine dan sebagainya. St. hanya dihubungkan dengan nama seorang penganjur dan pemimpin besar agama Kristen, dan karena itu tidak dapat diberikan kepada sembarang pemeluk agama ini, yang tingkat keagamaannya masih rendah.

St. Valentin ini karena pertentangannya dengan Kaisar CLAUDIUS II, penguasa Romawi pada waktu itu, berakhir dengan pembunuhan atas dirinya pada abad ketiga, tepatnya pada tanggal 14 Februari tahun 270 Masehi. Menurut kepercayaan Kristen, kematian Valentin ini dikategorikan martir membela agamanya, sebagaimana orang Islam menyebut syahid bagi seorang muslim yang terbunuh di medan jihad.
Kematian yang tragis, kesalehan, dan kedermawanan Valentin ini tidak dapat dilupakan oleh para pengikutnya di belakang. Valentine dijadikan simbol bagi ketabahan, keberanian, dan kepasrahan seorang Kristen menghadapi kenyataan hidupnya. Namanya dipuja dan diagungkan dan hari kematiannya diperingati oleh pengikutnya dalam setiap upacara keagamaan yang dianggap sesuai dengan peristiwa tragis itu. Upacara peringatan yang pada mulanya bersifat religius itu dimulai pada abad ketujuh Masehi dan berlangsung sampai abad keempat belas, dan setelah abad itu signifikansi keagamaannya mulai hilang dan tertutup oleh upacara dan ceremony yang non-agamis.
Hari Valentin, sebagaimana dikatakan di atas, adalah hari kematian Valentine yang kemudian diperingati oleh para pengikutnya setiap tanggal 14 Februari. Kemudian hari Valentine ini dihubungkan pula dengan pesta atau perjamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut supercalia yang biasanya jatuh pada tanggal 15 Februari. Setelah orang Romawi masuk Kristen, maka pesta supercalia itu secara religius dikaitkan dengan kematian atau upacara kematian St. Valentine.

Penerimaan Valentine sebagai model kasih sayang tulus diduga seperti berasal dari kepercayaan orang Eropa, bahwa masa kasih sayang mulai bersemi bagi burung jantan dan burung betina pada tanggal 14 Februari setiap tahunnya. Perkiraannya atau kepercayaannya ini lalu berkembang menjadi pengertian umum bahwa sebaiknya pihak pemuda mencari seorang pemudi (wanita) untuk menjadikan pasangannya dan sebaliknya pada tanggal tersebut. Bersamaan dengan itu, mereka menyarankan untuk saling tukar tanda mata atau cadeau (kado) sebagai lambang terbinanya kasih sayang di antara mereka. Namun, Valentine ini lebih dipopularkan lagi oleh orang-orang Amerika dalam bentuk greeting card (kartu ucapan selamat) terutama sejak berakhirnya Perang Dunia I.
Valentine ini lebih dipopularkan lagi oleh orang-orang Amerika dalam bentuk greeting card (kartu ucapan selamat) terutama sejak berakhirnya Perang Dunia I.
Hukum Merayakan Valentine's Day

Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikiran. Apalagi, bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syiar dan kebiasaan. Padahal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam, artinya, "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR At-Tirmizi).
Abu Waqid meriwayatkan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat keluar menuju Perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat berkata, 'Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian'." (HR At-Tirmizi, ia berkata, hasan sahih).
Berkasih-sayang versi valentinan ini haruslah diketahui terlebih dahulu hukumnya, lalu diputuskan apakah akan dilaksanakan atau ditinggalkan. Dengan melihat dan memahami asal-usul serta fakta pelaksanaan Valentine's Day, sebenarnya perayaan ini tidak ada sangkut pautnya sedikit pun dengan corak hidup seorang muslim. Tradisi tanpa dasar ini lahir dan berkembang dari segolongan manusia (kaum/bangsa) yang hidup dengan corak yang sangat jauh berbeda dengan corak hidup berdasarkan syariat Islam yang agung.
Sangat jelas bahwa Valentine Day adalah budaya orang kafir, yang kita (umat Islam) dilarang untuk mengambilnya. Kita dilarang menyerupai budaya yang lahir dari peradaban kaum kafir, yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam. Sungguh, ikut merayakan hari valentin adalah tindakan haram dan tercela.
Valentine Day adalah budaya orang kafir, yang kita (umat Islam) dilarang untuk mengambilnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata, "Memberikan ucapan selamat terhadap acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, "Selamat hari raya" dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalaupun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan, perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan lebih dimurkai daripada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid'ah, atau kekufuran. Padahal, dengan itu ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala."
Memberikan ucapan selamat terhadap acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ketika ditanya tentang Valentine's Day mengatakan, "Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena alasan berikut. Pertama, ia merupakan hari raya bid'ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syariat Islam. Kedua, ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf saleh (pendahulu kita)--semoga Allah meridhai mereka. Maka, tidak halal melakukan ritual hari raya mereka, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah, ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup) yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan semoga meliputi kita semua dengan bimbinga-Nya."

Mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup orang kafir akan membuat mereka senang dan dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah berfirman (yang artinya), "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-Maidah: 51).

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (QS. Al-Mujadilah: 22)
Mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup orang kafir akan membuat mereka senang dan dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam surga yang hamparannya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam hadis Qudsi, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya, "Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, saling berkorban karena Aku, dan yang saling mengunjungi karena Aku." (HR Ahmad). Wallahu a'lam.

Sumber:

1. The standart International Dictionary, jilid 18 halaman 5090. The Encyclopedia Americana, jilid 27 halaman 859. (dari www.isnet.org/archive-milis/archive99).
2. Valentine's Day Bukan Ajaran Islam, Drs. Nur'i Yakin Mch, SH, M.Hum.
3. www.alsofwah.or.id
4. www.hidayatullah.com
[PurWD/voa-islam.com]


Menahan Amarah

Dimas Cokro Pamungkas
Pada masa Rasulullah saw seorang sahabat yang kecanduan khamar dibawa ke hadapan beliau untuk dihukum. Berkali-kali ia minum khamar. Namun meski telah dihukum, kebiasaan buruknya tak bisa dihentikan. Ia kembali meminum khamar sehingga kembali dihukum.

Karena kemarahan yang memuncak, seorang sahabat berkata, "Ya Allah laknatlah ia. Ia sangat sering minum khamar dan sudah sering dihukum."

Mendengar ucapan sahabat itu, Rasulullah saw segera menegurnya. "Janganlah engkau melaknatnya. Sebab, ia masih mencintai Allah dan Rasul-Nya." (Mushonnaf Abdur Razzaq). Dalam riwayat lain disebutkan, "Janganlah kalian menjadi pembantu setan dalam menghadapi saudaramu."

Demikianlah sikap yang diajarkan Rasul saw. Rasul saw melarang para sahabat untuk mencela dan menghujat orang yang jelas bersalah. Rasul mengajarkan untuk senantiasa mendoakannya supaya yang bersangkutan bertaubat.

Menghujat orang lain merupakan tindakan destruktif. Sebab, di samping hal itu bisa membuat putus asa si pelaku untuk kembali ke jalan yang benar, juga akan membuat setan tertawa karena berhasil mengoyak persaudaraan.

Ibnu Athaillah berkata, "Maksiat yang melahirkan rasa hina dan papa lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan kecongkakan dan kesombongan."

Dulu, ketika Khalid bin Walid ra memaki seorang wanita yang berzina dan kemudian dirajam, Rasulullah saw langsung menegurnya. "Wahai Khalid, apakah engkau memakinya? Demi Allah, ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikan taubatnya dibagikan kepada 70 rumah penduduk Madinah, tentu akan mencukupi mereka." (HR Muslim).

Rasulullah saw mengajarkan sahabat untuk tetap bersikap baik, tidak melampaui batas, dan tidak menghujat orang yang bersalah. Begitu pula kepada mereka yang masih belum terbukti bersalah.

Saat ini, kita banyak menyaksikan kondisi umat yang sudah berubah. Syahwat untuk menghujat demikian meluap. Iman yang terdapat di dalam dada belum bisa melahirkan perasaan ukhuwah. Ruku' dan sujud yang dilakukan tak menimbulkan sifat rendah hati dan sikap waspada.

Seakan, kepuasan tertumpahkan kala berhasil mencaci-maki dan menghujat mereka yang bersalah. Tak jarang, sikap main hakim sendiri kita lakukan demi menumpahkan kekesalan. Lihatlah, betapa seorang pencuri sandal harus meregang nyawa karena dihakimi massa?

Dengan jelas Allah befirman dalam  Alquran, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik." (QS al-Hujurat: 11-12).

Rasulullah saw bersabda, "Menghujat orang mukmin adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran." (HR Muslim).

Alangkah indahnya jika setiap Muslim saling menahan diri, saling mengingatkan, saling membantu dalam kebenaran, saling berbaik sangka sehingga umat Islam tumbuh menjadi umat yang kuat yang bisa dibanggakan oleh Allah SWT. Wallahu a'lam.
(Fauzi Bahreisy)


Qurrota A'yun Psychology Consultant
Jln Ry Semen No.50 Wangkalkepuh Gudo Jombang
Asuhan Dimas Cokro Pamungkas (Gus Dimas) 081559551234

Kaya Tanpa Harta

Dimas Cokro Pamungkas
Setiap orang jika ditanya kekayaan yang paling mahal harganya dan yang paling disukai, maka hampir pasti mereka akan menjawab: uang, mobil, rumah, berlian dan seterusnya. Jawaban itu tidak salah. Memang itu semua sudah umum dipandang sebagai kekayaan.

Seseorang disebut kaya dan orang lainnya disebut miskin, perbedaan itu semata-mata karena kepemilikan harta. Orang disebut kaya jika ia memiliki rumah besar, uang banyak, mobil mewah, tabungan banyak di bank dan seterusnya.

Sebaliknya orang disebut miskin jika ia tidak memiliki rumah, tidak punya tabungan, tidak punya mobil dan juga tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki apa-apa. Itulah ciri orang miskin.

Sekalipun menurut pandangan sebagian besar orang, anggapan ini benar, tapi pertanyaannya kemudian adalah, apakah tidak ada ukuran selain itu. Kita sering dengar ada juga pandangan yang mengatakan, biar miskin harta asalkan tidak miskin jiwa.

Dengan kalimat ini, artinya ada orang yang sekalipun tidak memiliki harta, tapi merasa memiliki jiwa yang luas dan kukuh, lebih disukai. Sebaliknya, ada orang yang kaya harta benda, tapi sesungguhnya ia miskin.

Jika harus memilih, memang yang terbaik adalah menjadi kaya harta sekaligus kaya jiwa. Tapi, jika alternatif ini tidak boleh dipilih, ternyata ada orang yang lebih memilih kaya jiwa daripada kaya harta. Kemudian, siapa sesungguhnya orang yang disebut memiliki kekayaan jiwa itu?

Saya pernah mendapat cerita, ada seorang pegawai Kementrian Agama, ketika memasuki pensiun, segera baju korpri dan baju saparinya dicuci dan diseterika.

Tatkala, pegawai yang tergolong rendah, hanya menduduki jabatan di tingkat kabupaten diundang untuk acara pelepasan pensiun, baju-baju tersebut dengan ikhlas diserahkan ke kantor dengan maksud agar jika diperlukan, dipakai pegawai lainnya.

Tokh, kata dia, setelah pensiun dia tidak akan menggunakan baju seragam itu lagi. Inilah menurut padangan saya contoh orang yang tergolong kaya jiwa.

Sebaliknya dari cerita di atas, sebagai contoh orang berjiwa kerdil yang juga disebut miskin jiwa, dapat dicontohkan lewat kasus berikut.

Seorang pejabat, sekian banyak keluarganya dimasukkan ke lembaga yang ia pimpin, sekalipun tidak memenuhi syarat. Ia berpikir, daripada diisi orang lain, apa salahnya diisi keluarganya sendiri? Bahkan, saudara dekatnya diberi fasilitas untuk pengadaan semua kebutuhan kantor. Itu dilakukan dengan alasan efisiensi dan agar cepat.

Kasus seperti ini, sederhana dan aneh, tapi gampang sekali ditemui di mana-mana. Inilah gambaran orang yang hanya sebatas mementingkan dirinya sendiri dan abai pada orang lain.

Satu sisi dia menjadi kaya, dihormati keluarganya dan diperjuangkannya, tapi sesungguhnya dia hanya memiliki aku kecil, sebatas keluarganya, belum meraih aku besar, ialah masyarakatnya.

Orang yang kaya jiwa adalah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri, berani menghadapi tantangan hidup, ikhlas, sabar dan mampu membagikan kasih sayangnya kepada semua.

Ia tidak takut miskin dan tidak takut pula kehilangan harta maupun jabatannya, yang ditakutkan adalah jika keberadaannya tidak memberi manfaat bagi orang lain.

Lalu, siapa sesungguhnya orang yang miskin jiwa itu. Tidak lain adalah orang yang tidak menyandang sifat yang dimiliki orang yang berjiwa besar itu.

Sehingga, sekalipun hartanya melimpah, tapi jika dia bakhil, pelit terhadap orang lain, maka harta yang dikumpulkan dengan susah payah, akhirnya juga tidak memberi manfaat pada siapa saja, termasuk kepada dirinya sendiri.
(Prof Dr Imam Suprayogo)


Qurrota A'yun Psychology Consultant
Jln Ry Semen No.50 Wangkalkepuh Gudo Jombang
Asuhan Dimas Cokro Pamungkas (Gus Dimas) 081559551234

Ikhlas

Dimas Cokro Pamungkas
Dalam al-Qur’an, orang-orang ikhlas disebutkan dengan dua sebutan yakni al-Mukhlishin (98:5, 39:11) dan al-Mukhlashin (15:40, 38:83).
Bedanya, pada kata pertama diberi harkat (baris) kasroh pada huruf li (al-Mukhlishin), dan yang kedua ber-harkat fathah pada huruf la (al-Mukhlashin). Keduanya dalam bentuk dan makna berbeda.

Term yang pertama digunakan untuk orang yang ikhlas atau dalam keadaan ikhlas. Sedangkan yang kedua dikaitkan dengan upaya iblis menggoda dan menjerumuskan manusia dari jalan Allah. Tapi, iblis pun tak mampu menggoda mereka.

Dalam Mushaf Ar-Rusydi diterjemahkan dengan hamba-hamba yang terpilih dan diberi penjelasan pada catatan kaki yakni, ”orang-orang yang telah diberi taufik untuk menaati segala petunjuk dan perintah Allah”.

Kata Al-Mukhlishin adalah isim fa’il (subjek) yakni orang-orang yang (berusaha) ikhlas. Sementara al-Mukhlashin adalah isim maf’ul (objek) yakni orang-orang yang diberikan karunia keikhlasan oleh Allah.

Kata yang kedua bisa juga dimaknai dengan orang-orang yang sudah tercerahkan hatinya dan lebih tinggi dari yang pertama.  

Paling tidak, ada tiga jalan belajar ikhlas. Ketiga jalan menuju keikhlasan tersebut diformulasikan dengan 3-an yaitu : Pertama; Kewajiban.
Tangga pertama bagi seorang Muslim menuju keikhlasan adalah menjalankan kewajiban (mengerjakan perintah dan menjauhi larangan) yang telah disyariatkan agama. Terlepas, apakah ikhlas atau tidak.  

Melaksanakan kewajiban terasa berat. Berat menunaikan shalat, karena kewajiban harus dijalankan (2:43). Berat mengeluarkan zakat dan membantu yatim dhuafa, tapi harus dilaksanakan (9:103). Berat berpuasa Ramadhan, tapi harus dilakukan (2:183). Berat berhaji, jika sudah mampu harus ditunaikan (22:27). 

Ikhlas tidak akan datang dengan sendirinya, tanpa berjuang menjalankan kewajiban. Jika belum ikhlas berzakat, berzakat lagi. Jika belum ikhlas juga, berzakat terus.  Bila berhenti, maka tak pernah sampai ke maqam ikhlas. 

Kedua; Kebutuhan. Jika kita melakukan kewajiban secara berulang-ulang (mudawamah) dan konsisten (istiqomah), perlahan tapi pasti menjadi kebutuhan. Artinya, muncul kesadaran setiap perintah dan larangan Allah dan RasulNya akan mendatangkan kebaikan (hikmah).

Jika kesadaran hadir, kita yang butuh. Misalnya, diperintahkan shalat walau terpaksa kita lakukan. Setelah mendirikannya, sadar shalat menjadikan hati tentram, badan segar, kesehatan fisik terjaga, kedekatan sosial dan lain-lain. Jika tidak shalat, rasanya ada yang kurang. Akhirnya, kita merasa butuh shalat itu.

Berat menunaikan puasa, tapi setelah mekakukannya, terasa puasa baik bagi kita. Hati jadi tenang, menyehatkan badan, fikiran jernih, dan lain-lain. (2:184).

Sama halnya dengan olah raga. Jika tak keringat, badan rasanya tak enak. Jika sudah butuh, kita berusaha mencari jalan agar kebutuhan terpenuhi. Jika butuh terhadap yatim dhuafa untuk menerima zakat, sedekah kita, malam hari pun kita keliling kampung mendatangi yayasan yang membina yatim dhuafa.

Ketiga; Kenikmatan. Tahapan ketiga menuju keikhlasan adalah merasakan kenikmatan. Ini bisa didapatkan setelah menjalankan kewajiban dan merasakan sebagai kebutuhan. Boleh jadi  hal ini  bertolak belakang dengan logika.

Sulit dimengerti, mengapa seseorang berdiri lama saat shalat? Membaca Al-Quran bisa meneteskan air mata, meskipun tidak mengerti maknanya? Makan bersama anak yatim dan miskin terasa nikmatnya? Berurai air mata di depan Baitullah, hingga kelelahan tak dipedulikan?

Jika orang merasa nikmat menerima atau memenuhi kebutuhan jasadi, itu kenikmatan sesaat (jasmaniah). Tapi jika bisa merasakan kenikmatan berbagi, bangun di tengah malam sepi menemui Allah, menikmati lapar dan dahaga tatkala berpuasa atau nikmat bersimpuh di depan Ka’bah, itu baru kenikmatan sejati (ruhaniah).

Tak banyak orang yang sampai pada tingkatan ini. Justru, di sinilah buah keikhlasan akan didapatkan. Keikhlasan bisa dirasakan setelah melakukan suatu perbuatan.  (QS. 76:8-9). 
Keikhlasan berbuah kemuliaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yakni jannatun na’im khalidina fiha (surga yang penuh kenikmatan dan kekal di dalamnya) Amin. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Ustadz Hasan Basri Tanjung MA)
 
 
Qurrota A'yun Psychology Consultant
Jln Ry Semen No.50 Wangkalkepuh Gudo Jombang
Asuhan Dimas Cokro Pamungkas (Gus Dimas) 081559551234

Istighfar, Penyelamat dari Azab Allah

Diceritakan dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau berkata, “Ketika Nabi Yunus AS merasa tidak dapat lagi mengharapkan keimanan dari kaumnya, beliau memohon kepada Allah SWT.

'Ya Allah sesungguhnya kaumku telah durhaka kepada-Mu dan mereka tetap dalam kekufuran. Oleh sebab itu turunkanlah siksaan-Mu kepada mereka.' Allah SWT berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan siksa-Ku yang sangat pedih'.”

Setelah itu,  Nabi Yunus pergi meninggalkan kaumnya dan mengancam mereka bahwa siksa Allah akan turun setelah kurun tiga hari. Beliau pun membawa keluarganya dan dua anak yang masih kecil-kecil. Kemudian ia mendaki gunung yang tinggi dan mengawasi penduduk Ninawa serta menanti siksa yang akan ditimpakan kepada mereka.

Allah SWT kemudian mengutus Jibril dan berfirman kepadanya, “Pergilah engkau ke tempat malaikat Malik! Katakan kepadanya agar ia meniupkan angin panas dari neraka sebesar biji gandum, kemudian berangkatlah ke penduduk Ninawa dan timpakanlah siksa itu kepada mereka.” Lalu Jibril pun berangkat ke Kota Ninawa dan melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Kaum Yunus  pun mulai merasakan siksa Allah yang sangat pedih sesuai dengan apa yang telah dikatakannya kepada kaumnya.

Ibnu Abbas berkata, “Ketika mereka telah yakin bahwa siksa Allah telah menimpa mereka dan mengetahui bahwa apa yang dikatakan Nabi Yunus itu benar, mereka pun mencari-carinya, namun mereka tidak menemukannya.” Pada akhirnya mereka berkata, “Marilah kita berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah SWT.”

Kemudian, mereka bersepakat untuk berangkat ke sebuah tempat yang disebut dengan Tal al-Ramad dan Tal al-Taubah. Di tempat itu mereka menaburkan debu pasir di atas kepala dan menginjaki duri-duri dengan kaki mereka sambil memohon ampunan kepada Allah dengan mengangkat suara disertai tangisan dan doa.

Atas kesungguhan mereka dalam bertobat dan beristighfar maka Allah SWT pun menerima tobat dan mengampuni dosa-dosanya. Kemudian Allah SWT berfirman kepada Malikat Jibril, “Wahai Jibril angkatlah siksa yang aku timpakan kepada mereka, sesungguhnya aku telah mengabulkan tobat mereka.” Umat Nabi Yunus pun selamat dari siksaan.

Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah istighfar (permohonan ampun) merupakan kalimat penyelamat. Artinya, kalimat yang mampu menyelamatkan manusia dari ancaman azab Allah.

Kalimat istighfar mengandung makna pengakuan, penyesalan, kesadaran, kerendahan diri, dan keimanan. Dan itu semua merupakan sebab yang dapat mendatangkan kecintaan, pertolongan, dan perlindungan Allah SWT sehingga kita dapat selamat dari siksaan dan kebinasaan.

Tidak ada yang dapat menyelamatkan diri kita dari azab Allah, kecuali kita memohon ampun dan segera bertaubat atas segala kesalahan. Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata, “Sungguh aneh orang yang binasa padahal ia memiliki kalimat penyelamat.” Ditanyakan kepadanya, “Apa itu?” Ia berkata, “Istighfar.” (Al-Mustathraf [2]: 344-345). Wallahu a'lam.


Obat Kegalauan

"Ustaz, akhir-akhir ini hati Bunda seperti terserang virus galau: tidak tenang, gelisah, makan tidak enak, bahkan tidur juga tidak bisa nyenyak. Sering marah-marah dan mudah emosi. Tolong nasihati Bunda, Ustaz ..!" keluh seorang  jamaah selepas halaqah Shubuh.

Rasanya keadaan ini lumrah terjadi terhadap siapa saja. Bahkan, boleh dibilang manusiawi. Setiap manusia pasti akan melewati fase spiritual yang fathroh (menyimpang) dari kelaziman ini. Sebenarnya banyak faktor mengapa keadaan fathroh ini bisa melekat begitu saja terhadap manusia. Salah satu di antaranya adalah ketidaksiapan hati dan tergerusnya akar tauhid.

Hati dengan wataknya yang labil (taqallub, seakar dengan kata qolbun, hati) seharusnya bisa ditundukkan untuk tenang atau tumakninah jika saja rangsangan di luarnya bersesuaian. Di antara rangsangan hati untuk bisa tenang, selalu diajak ingat kepada Allah, zikrullah. "Dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." (QS ar-Ra'du [13]: 28).

Yang dimaksud akar tauhid adalah keyakinan yang sempurna kepada Allah bahwa semua keadaan terjadi atas izin dan pengetahuan Allah. Hati dan semua keadaan kita ada dalam pengawasan Allah. Tidak ada sedikit pun yang terlewatkan dari perhatian-Nya. Dia Maha Menatap dan Mahabijak. Mengapa tidak coba keluhkan di hadapan-Nya.

Pernah jamaahnya Ibnu Mas'ud RA mengeluhkan keadaan dirinya persis seperti Bunda di atas. Selepas taklim, jamaah tersebut merangsek ke hadapan sahabat Nabi yang mulia ini. Lalu Ibnu Mas'ud RA berpesan dengan tiga tempat yang harus didatangi.

Pertama, datangi majelis yang Alquran selalu diperdengarkan. Simak bacaannya dan jika mampu ikut bacaannya, niscaya kamu akan dapat rahmat ketenangan (QS al-Isra [17]: 82).

Kedua, datangi majelis ilmu yang para guru saleh menasihatimu dengan firman-firman-Nya dan sabda Nabi-Nya, niscaya ada tambahan ilmu yang mencerahkan. Al-'Ilmu nuurun, ilmu itu cahaya yang mencerahkan.

Ketiga, datangi alas sajadah di malam-malam munajatmu, niscaya keadaanmu meningkat dalam kedudukan yang semakin dekat dengan Sumber Ketenangan, Allah 'Azza wa Jalla (QS al-Isra [17]: 79).

Atas dasar itulah, "Cobalah Bunda mulai sekarang, sering mengeluh dan mengadulah kepada Allah, pemilik hati dan keadaan kita dengan belajar untuk istiqamah mendatangi ketiga tempat yang dipesankan Ibnu Mas'ud tersebut. Insya Allah ada ketenangan dan kebaikan yang dilimpahi keberkahan." Demikian pesan mengakhiri halaqah Shubuh di pagi itu. Wallahu a'lam.
(Ustaz Muhammad Arifin Ilham)


Bagaimana Doa yang Terjawab?

Abas ad-Dauri berkata, "Telah bercerita kepada kami Ali bin Abi Fazarah, tetangga kami. Ia berkata, 'Umi saya cacat dan tak bisa jalan sekitar 20 tahun lamanya. Suatu hari ia berucap padaku,
Pergilah ke Ahmad bin Hambal, dan mintalah padanya agar dia mendoakan saya. Aku pun mendatanginya, lalu kuketuk pintunya, sementara beliau sedang berada di ruang tengah'."

"Siapa itu?" kata orang yang berada di dalam. Saya menjawab, "Saya, orang yang disuruh ibunya yang cacat dan tak bisa jalan agar meminta didoakan olehmu." Maka kudengar ucapannya, seperti ucapan orang yang marah. "Kami juga amat butuh untuk engkau doakan kepada Allah."

Lantas saya pun berpaling, dan mundur untuk pulang. Tak berapa lama, keluarlah seorang wanita tua, seraya berkata, "Ketika engkau pergi, sang imam berdoa pada Allah untuk ibumu."

Saya pun pulang ke rumah dan kuketuk pintu. Ternyata ibuku keluar dan berjalan dengan kedua kakinya yang normal.

Di kalangan orang saleh, dahulu kala cerita tentang orang yang doanya diijabah (mustajabud da'wah) sungguh tak sedikit. Suatu hal yang kalau ditarik ke era kini mungkin nyaris menjadi cerita fantasi yang hanya ada dalam bayangan.

Simak cerita lain dari kehidupan Abdullah Ibnul Mubarak, tokoh saleh yang terkenal kedermawanannya. Abu Wahab berkata, "Ibnul Mubarak berjalan lalu bertemu dengan seorang yang buta."

Ia berkata, "Bolehkah saya meminta kepada engkau agar mendoakan saya supaya Allah mengembalikan penglihatan saya?" Kemudian Ibnul Mubarak berdoa, dan orang itu pun dapat melihat kembali. "Saya benar-benar menyaksikannya," ujar Abu Wahab.

Di tengah gempuran arus materialisme yang dahsyat yang segala sesuatu diukur dengan kebendaan, tak mudah meyakinkan orang, doa yang makbul itu ada. Ia bisa menjadi jalan keluar bagi kehidupan kaum Muslimin. "Dan Rabbmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu." (QS al-Mukmin [40]: 60).

Sebagian orang mungkin ada yang menangkap ayat ini dengan pandangan minor, karena dianggap tak sesuai  dengan kenyataan.
Padahal, di samping bentuk pengabulan doa, kadang mereka sendiri yang membuat dinding pembatas antara dirinya dan diterimanya doa, yakni dengan mengonsumsi barang-barang haram.

Rasulullah saw bersabda, "Wahai segenap manusia, Allah sungguh Mahabaik dan tak menerima kecuali yang baik. Allah Taala sungguh memerintahkan kaum Mukminin dengan sesuatu yang juga Dia tujukan untuk para Rasul.
Rasulullah saw mengutip ayat Alquran yang artinya, "Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Mukminun [23]: 51). Lihat juga QS al-Baqarah [2]: 172.

Kemudian, Rasulullah saw menyebutkan seseorang yang bepergian jauh, rambutnya kusut masai dan berdebu, seraya menengadahkan tangannya ke langit. "Wahai Rabbku, wahai Rabbku."
Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan." (Hadits Riwayat Abu Hurairah).
(Makmun Nawawi)


Membuka Pintu Kebahagiaan

Kebahagiaan (as-sa’adah) adalah harapan meski dipahami berbeda oleh setiap insan sesuai keyakinan dan pemahaman hidupnya. Karena itu, jalan yang ditempuh untuk meraihnya pun berbeda pula.
Kebahagian harus dicari dan diusahakan, tidak datang dengan sendirinya (QS.28:77).

Makna kebahagiaan seorang Muslim adalah pencapaian dunia dan akhirat, material dan spritual, individual dan sosial, emosional dan intlektual. Sebuah kebahagiaan yang utuh (integrated) dan menyeluruh (komprehensif).

Mahatma Gandhi pernah mengatakan .”Happiness is when what you think, what you say and what you do are in harmony”.(Kebahagian adalah ketika apa yang Anda pikirkan, katakan dan lakukan terdapat kesesuaian).
 
Imam Al-Gazali  membagi kesenangan manusia itu pada dua tingkatan yakni lazaat yaitu kepuasan (lezat) dan sa’adah (kebahagiaan). Yang pertama lebih pada aspek indrawi dan sesaat (material) sedangkan yang kedua pada aspek batini (rasa dan langgeng).

Puncak tertinggi dari kepuasan dan kebahagiaan manusia adalah ma’rifatullah yakni mengenal Allah. Kebahagiaan itu bergerak dalam ranah kalbu (rasa), tapi ekspresinya kongkrit berupa keceriaan, keindahan, kelapangan, ketaatan dan kemanfaatan hidup. 

Hati manusia adalah tempat berlabuhnya sifat ilahiyyah, maka setiap kata, sikap dan perilaku yang bersesuaian (yang tergambar dalam asma al-husna) akan menentramkan. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengannya akan merisaukan. (QS.91:8-10),

Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw berpesan : “Kebahagiaan manusia itu ada tiga dan deritanya pun ada tiga. Kebahagiaan itu adalah istri yang shalehah, rumah yang bagus dan kendaraan yang baik. Sedangkan derita manusia yaitu : istri yang jahat, rumah yang buruk dan kendaraan yang jelek”. (Hadits Riwayat. Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqash ra).

Pertama ; Istri shalehah (al-mar’atush shalihah).  Ia adalah jalan mendapatkan anak yang saleh dan rumah yang nyaman (keluarga sakinah).  Kriteria kesalehan istri adalah menyenangkan jika dipandang, merasa nyaman jika ditinggalkan, menjaga kehormatan, harta dan patuh jika diperintahkan (HR. Al-Hakim dan An-Nasai).

Agama menuntun agar menikah karena agamanya, bukan karena kecantikan dan hartanya sebab akan membuatnya binasa dan durhaka (sombong). “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri salehah”.  (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar). 

Kedua ; Rumah yang bagus (al-maskanush shalih).  Dalam riwayat lain dijelaskan dengan “rumah besar yang banyak didatangi tamu” (ad-daru takuunu waasi’atan katsiroh al-marofiqi).

Rumah tidak hanya tempat berteduh dari panasnya terik matahari dan dinginnya udara malam serta melepaskan lelah. Tapi ia juga tempat  membangun kehidupan keluarga dan  pemimpin umat masa depan.

Rumah adalah tempat menyusun strategi perjuangan dakwah dan sumber inspirasi meraih kesuksesan. Baitii jannatii (rumahku adalah surgaku). Demikian Nabi saw.

Secara fisik, rumah yang bagus adalah besar, lega, bersih dan indah dengan pekarangan  tertata rapi. Tapi, secara sosial ia terbuka menerima tamu (silaturrahim) terutama orang-orang lemah (dhuafa dan mustad’afin).

Secara spritual ia menjadi tempat dilantunkan ayat suci Al-Qur’an, mengkaji dan mengajarkannya kepada anak-anak (madrasah), ditegakkan shalat dan untuk taqarrub kepada Allah.  

Ketiga ; Kenderaan yang baik (al-markabush shalih).  Kendaraan adalah simbol status sosial, mobilitas dan interaksi sosial dalam mencari keberuntungan hidup. Kendaraan adalah alat untuk mencapai tujuan dengan cepat, mudah, aman dan nyaman.

Jika kita menempuh perjalanan dengan kendaraan yang bagus, ber-AC, harum dan cepat, maka perjalanan akan mudah dan menyenangkan. Ketika panas terik tak berkeringat, ketika hujan tak kebasahan, takkala angin kencang tak terhempaskan.  

Tapi, jangan lupa kendaraan juga harus bermafaat dalam membangun umat, menolong sesama dan mempermudah jalan dakwah. Ketiga pintu kebahagiaan tersebut merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Jika salah satunya tiada, yang lain tak bermakna. 

Kita mesti sadari, ketiga hal tersebut bukan tujuan hidup, tapi hanya sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki, yakni berjumpa dengan Allah kelak di surga.  

Jika ketiga hal itu sebagai faktor eksternal, maka kebahagiaan harus ditopang dengan kualitas internal yakni dikokohkan dengan pondasi keimanan, buka pintunya dengan kunci keikhlasan, hiasi dengan pengharum kesyukuran.

Selain itu, pagari dengan tembok kesabaran, isi dengan mebeler ilmu pengetahuan dan selalu bersihkan dengan sapu ketauhidanAllahu a’lam bish-shawab.
(Ustaz Hasan Basri Tanjung MA)